Jumat, 03 Agustus 2012

Konflik Suriah dan Dilematisme Barat


Konflik Suriah yang pecah sejak awal Maret 2011 semakin memprihatinkan. Jumlah korban yang jatuh dari kedua belah pihak sudah puluhan ribu jumlahnya, bahkan ada yang menyebutkan sudah mencapai ratusan ribu. Ditengah kekhawatiran yang ada, yang sangat ditunggu oleh publik bahkan dunia adalah mengenai sikap yang akan diambil oleh AS dan Sekutunya. Diawal konflik, banyak pihak yang memprediksi bahwa AS dan Sekutunya akan membantu para pemberontak guna menggulingkan Presiden Bashar Al As’ad. Maklum, dibawah kendali As’ad, Suriah merupakan musuh bagi AS dan sekutunya serta pengganggu utama eksistensi Israel di Timur Tengah. Hal tersebut karena Suriah dan Iran merupakan negara yang aktif memberikan bantuan baik dalam bentuk persenjataan maupun keuangan terhadap kelompok bersenjata Hizbullah di Lebanon, Brigade Al Qassam di Palestina serta kelompok bersenjata lainnya di Palestina yang selama ini dicap “teroris” oleh negara – negara barat. Namun, setelah setahun lebih konflik tersebut berlalu, sikap AS dan Sekutunya terkesan diam saja dalam menyikapi konflik Suriah tersebut.

Yang menjadi pertanyaan, mengapa AS dan Sekutunya tidak mengambil tindakan tegas dengan mengerahkan kekuatan militernya untuk menyerang Suriah serta menggulingkan rezim As’ad? Takutkah AS dan Sekutunya terhadap Suriah? Jawabannya tentu tidak. Tidak ada yang patut ditakutkan AS dan Sekutunya terhadap Suriah. Kekuatan militer mereka sebenarnya masih dibawah Libya ketika masih dipimpin oleh mendiang Moammar Khadafi. Menurut saya, keinginan AS dan Sekutunya untuk menghajar Suriah justru sudah sampai di ubun – ubun. Yang menjadi alasan utama mengapa AS dan Sekutunya tidak menyerang Suriah, justru karena kedua belah pihak yang bersengketa yakni pihak Pro Pemerintah yang dipimpin oleh Presiden Bashar Al As’ad serta pemberontak yang tergabung dalam Majelis Mujahidin yang notabene berasal dari komunitas Muslim Sunni dan Aliran Wahabi, keduanya merupakan anti AS. Jadi apabila AS dan Sekutunya memutuskan untuk turun memerangi Rezim As’ad, bisa jadi mereka justru akan menjadi sasaran kedua belah pihak yang bersengketa. Disisi lain, AS dan Sekutunya tentu tidak mau memberikan kemenangan gratis bagi pihak Pemeberontak yang selama ini sebagian dari kelompok mereka dicap Teroris oleh AS.
Dalam menyikapi Suriah, AS dan Sekutunya justru memilih strategi “aman” dengan tidak terjun langsung ke medan perang. Ketika Iran memutuskan untuk mendukung rezim As’ad, AS memutuskan untuk membantu pihak pemberontak. Bantuan tersebut dikirim lewat pemerintah Saudi Arabia, karena akses untuk langsung ke pihak Pemberontak tentu tidak mudah. Strategi ini justru menjadi strategi terburuk yang diambil oleh AS dan Sekutunya dalam beberapa dekade terakhir. Inilah kali pertama AS dan Sekutunya melunak terhadap Negara musuhnya dalam beberapa dekade terakhir.
Langkah kebijakan yang diambil oleh AS yang diikuti oleh Saudi Arabia yang merupakan Sekutu AS jelas alamat buruk bagi rakyat Suriah. Pertumpahan darah diprediksi akan terus berlangsung, mengingat kedua kubuh saat ini telah memperoleh bantuan militer maupun keuangan dari pihak asing (luar). Hal ini akan membuat posisi kedua belah pihak baik yang bersengketa akan semakin kuat baik dari segi persenjataan maupun keuangan. Dukungan dari AS dan Arab Saudi setidaknya memberikan angin segar bagi para pejuang mujahidin yang ingin menumbangkan rezim As’ad. Selain itu, dukungan keuangan yang diberikan Iran serta kekuatan militer dari kelompok bersenjata pendukung As’ad akan semakin menguatkan pasukan pendukung Presiden Bashar Al As’ad. Situasi ini tentu akan semakin memperkeruh situasi keamanan di Suriah.
Menurut analisa saya, konflik di Suriah masih akan berlangsung lama. Hal ini karena konflik tersebut telah ditunggangi oleh beragam kepentingan. Sekalipun banyak negara – negara Arab yang mengecam tindakan pemerintah Suriah dan Saudi Arabia telah memberikan dukungan kepada pihak pemberontak, namun banyak kalangan yang meragukan konsistensi dukungan negara – negara arab terhadap pemberontak. Bagaimana pun juga, keberadaan Suriah dibawah kendali As’ad serta Iran dengan Ahmadinejad sangat dibutuhkan untuk mengurangi hegemoni serta eksistensi Israel di Timur Tengah. Maklum, selain Suriah dan Iran, tidak ada negara Arab yang lain yang berani secara terbuka menyatakan permusuhannya terhadap Israel. Belum lagi akhir – akhir ini, berdasarkan bocoran dari Knesset (DPR-nya Israel), bahwa Israel saat ini sedang merencanakan untuk mencaplok kembali dataran tinggi golan. Kalau sudah seperti ini, tentunya keinginan kita semua untuk kembali melihat Suriah aman dan damai seperti dulu masih harus dipendam..,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar