Konflik Suriah
yang pecah sejak awal Maret 2011 semakin memprihatinkan. Jumlah korban yang jatuh
dari kedua belah pihak sudah puluhan ribu jumlahnya, bahkan ada yang
menyebutkan sudah mencapai ratusan ribu. Ditengah kekhawatiran yang ada, yang
sangat ditunggu oleh publik bahkan dunia adalah mengenai sikap yang akan
diambil oleh AS dan Sekutunya. Diawal konflik, banyak pihak yang memprediksi
bahwa AS dan Sekutunya akan membantu para pemberontak guna menggulingkan
Presiden Bashar Al As’ad. Maklum, dibawah kendali As’ad, Suriah merupakan musuh
bagi AS dan sekutunya serta pengganggu utama eksistensi Israel di Timur Tengah.
Hal tersebut karena Suriah dan Iran merupakan negara yang aktif memberikan
bantuan baik dalam bentuk persenjataan maupun keuangan terhadap kelompok
bersenjata Hizbullah di Lebanon, Brigade Al Qassam di Palestina serta kelompok
bersenjata lainnya di Palestina yang selama ini dicap “teroris” oleh negara –
negara barat. Namun, setelah setahun lebih konflik tersebut berlalu, sikap AS
dan Sekutunya terkesan diam saja dalam menyikapi konflik Suriah tersebut.
Yang menjadi
pertanyaan, mengapa AS dan Sekutunya tidak mengambil tindakan tegas dengan
mengerahkan kekuatan militernya untuk menyerang Suriah serta menggulingkan
rezim As’ad? Takutkah AS dan Sekutunya terhadap Suriah? Jawabannya tentu tidak.
Tidak ada yang patut ditakutkan AS dan Sekutunya terhadap Suriah. Kekuatan
militer mereka sebenarnya masih dibawah Libya ketika masih dipimpin oleh mendiang
Moammar Khadafi. Menurut saya, keinginan AS dan Sekutunya untuk menghajar
Suriah justru sudah sampai di ubun – ubun. Yang menjadi alasan utama mengapa AS
dan Sekutunya tidak menyerang Suriah, justru karena kedua belah pihak yang
bersengketa yakni pihak Pro Pemerintah yang dipimpin oleh Presiden Bashar Al As’ad
serta pemberontak yang tergabung dalam Majelis Mujahidin yang notabene berasal
dari komunitas Muslim Sunni dan Aliran Wahabi, keduanya merupakan anti AS. Jadi
apabila AS dan Sekutunya memutuskan untuk turun memerangi Rezim As’ad, bisa
jadi mereka justru akan menjadi sasaran kedua belah pihak yang bersengketa. Disisi
lain, AS dan Sekutunya tentu tidak mau memberikan kemenangan gratis bagi pihak
Pemeberontak yang selama ini sebagian dari kelompok mereka dicap Teroris oleh
AS.
Dalam menyikapi
Suriah, AS dan Sekutunya justru memilih strategi “aman” dengan tidak terjun
langsung ke medan perang. Ketika Iran memutuskan untuk mendukung rezim As’ad,
AS memutuskan untuk membantu pihak pemberontak. Bantuan tersebut dikirim lewat
pemerintah Saudi Arabia, karena akses untuk langsung ke pihak Pemberontak tentu
tidak mudah. Strategi ini justru menjadi strategi terburuk yang diambil oleh AS
dan Sekutunya dalam beberapa dekade terakhir. Inilah kali pertama AS dan Sekutunya
melunak terhadap Negara musuhnya dalam beberapa dekade terakhir.
Langkah
kebijakan yang diambil oleh AS yang diikuti oleh Saudi Arabia yang merupakan
Sekutu AS jelas alamat buruk bagi rakyat Suriah. Pertumpahan darah diprediksi akan
terus berlangsung, mengingat kedua kubuh saat ini telah memperoleh bantuan
militer maupun keuangan dari pihak asing (luar). Hal ini akan membuat posisi
kedua belah pihak baik yang bersengketa akan semakin kuat baik dari segi
persenjataan maupun keuangan. Dukungan dari AS dan Arab Saudi setidaknya
memberikan angin segar bagi para pejuang mujahidin yang ingin menumbangkan
rezim As’ad. Selain itu, dukungan keuangan yang diberikan Iran serta kekuatan
militer dari kelompok bersenjata pendukung As’ad akan semakin menguatkan
pasukan pendukung Presiden Bashar Al As’ad. Situasi ini tentu akan semakin
memperkeruh situasi keamanan di Suriah.
Menurut analisa
saya, konflik di Suriah masih akan berlangsung lama. Hal ini karena konflik
tersebut telah ditunggangi oleh beragam kepentingan. Sekalipun banyak negara –
negara Arab yang mengecam tindakan pemerintah Suriah dan Saudi Arabia telah
memberikan dukungan kepada pihak pemberontak, namun banyak kalangan yang
meragukan konsistensi dukungan negara – negara arab terhadap pemberontak.
Bagaimana pun juga, keberadaan Suriah dibawah kendali As’ad serta Iran dengan
Ahmadinejad sangat dibutuhkan untuk mengurangi hegemoni serta eksistensi Israel
di Timur Tengah. Maklum, selain Suriah dan Iran, tidak ada negara Arab yang
lain yang berani secara terbuka menyatakan permusuhannya terhadap Israel. Belum
lagi akhir – akhir ini, berdasarkan bocoran dari Knesset (DPR-nya Israel),
bahwa Israel saat ini sedang merencanakan untuk mencaplok kembali dataran tinggi
golan. Kalau sudah seperti ini, tentunya keinginan kita semua untuk kembali
melihat Suriah aman dan damai seperti dulu masih harus dipendam..,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar