Jumat, 03 Agustus 2012

HAM Ternyata Tidak Berlaku Bagi Umat Islam

Bulan  Ramadhan  Tahun  ini  sungguh  berbeda  dari  tahun  -  tahun  sebelumnya.  Kalau pada tahun - tahun sebelumnya  untuk  sekedar  ngabuburit,  biasanya  kita mengisinya  dengan menyaksikan  Tauziah  dari para Ulama atau tayangan religi lainnya, tahun ini justru lebih banyak dihabiskan untuk menyaksikan pembantaian saudara muslim kita khususnya di Rohingya maupun di Syiria (baca:Suriah).
Pembantaian di 2 (dua) lokasi yang berbeda dan oleh rezim yang berbeda tersebut memang sungguh mengerikan. Puluhan ribu nyawa melayang, termasuk melibatkan korban dari wanita dan anak - anak. Korban diperkirakan akan terus bertambah, mengingat sampai dengan saat ini belum ada tanda - tanda penyelesaian konflik. Kondisi ini tentu membuat warga sipil dikedua daerah yang berbeda tersebut semakin tenggelam dalam ketakutan serta ancaman kelaparan akibat kekurangan pangan. Yang paling memiriskan tentu yang dialami oleh etnis muslim Rohingya. Kalau konflik Syiria terjadi kontak senjata kedua belah pihak yang bersengketa, di Rohingya yang terjadi sebaliknya. Serangan hanya datang dari etnis Budha (kafir) Rakhine yang didukung oleh pemerintah yang melibatkan polisi dan tentara dari Junta Militer Myanmar. Ketika pembantaian terjadi, polisi dan tentara kafir junta militer Myanmar hanya menjadi patung tanpa mengambil tindakan apapun, Ketika kaum muslimin mencoba melawan, maka tentara dan polisi Myanmar langsung bergerak cepat dengan menangkapi mereka. Mereka pun kemudian dijemur diatas pasir yang panas, disiksa bahkan sampai ditembaki. Nauzubillah.., sungguh mengerikan...!
Pertanyaan besar tentunya patut dialamatkan kepada PBB khususnya kepada AS dan Sekutunya. Lebih khusus lagi kepada Komisi HAM PBB. Jangankan untuk mengambil langkah - langkah investigasi ataupun langkah - langkah pencegahan maupun penyelesaian konflik, hanya untuk menyatakan bahwa kasus pembantaian etnis muslim Rohingya sebagai kejahatan kemanusiaan (Genosida) saja sama sekali tidak dilakukan. Utusan khusus PBB dari Komisi HAM Thomas Quintana yang melakukan kunjungan ke Myanmar terkesan hanya sekedar formalitas. Hal ini karena selama kunjungan tersebut, Thomas Quintana, dkk dikawal ketat oleh otoritas setempat. Jangankan untuk melakukan penyelidikan, hanya sekedar berbincang dengan korban saja selalu dihalangi oleh aparat keamanan.Hal ini jelas menggambarkan bahwa keseriusan PBB dalam mengusut kasus pelanggaran HAM berat di Myanmar patut dipertanyakan. Belum lagi kalau melihat sikap PBB terhadap konflik di Syiria. Rezim Bashar Al As'ad seolah dibiarkan bebas membantai warganya yang memberontak tanpa ada tindakan apa - apa dari PBB, khususnya AS dan Sekutunya. Tindakan ini tentunya berbeda dengan saat konflik Libya yang berhasil menumbangkan rezim Khadafi. Tindakan ini bisa dibilang wajar, mengingat Moammar Khadafi adalah musuh AS dan Sekutunya sedangkan pihak pemberontak merupakan kelompok pro AS. Situasi berbeda tentunya yang terjadi di Syiria. Sekalipun Presiden Bashar Al As'ad merupakan musuh AS dan Sekutu Iran, para pemberontak yang berasal dari komunitas muslim Sunni dan aliran Wahabi (Aliran yang diklaim menginspirasi lahirnya Al Qaedah) tentu sangat memusuhi AS. Membantu pemberontak tentu sangat tidak diinginkan oleh AS dan Sekutunya, karena sama saja dengan melepaskan harimau yang sewaktu - waktu bisa memangsa mereka. Langkah rahasia yang dilakukan oleh AS justru hanya Arab Saudi untuk memberikan bantuan persenjataan kepada pemberontak. Langkah ini tentu bukanlah langkah penyelesaian, justru hanya akan membawa Syiria kepada konflik berkepanjangan. Padahal langkah strategis yang harus dilakukan saat ini tentunya denngan mengirimkan Pasukan Perdamaian PBB. Sekalipun beresiko (karena bisa menjadi sasaran Tentara Pemerintah maupun pemberontak), namun langkah tersebut menurut beberapa pihak adalah satu - satunya langkah yang bisa dilakukan untuk mengurangi jumlah korban yang semakin hari semakin bertambah. 

Lambannya tindakan PBB dalam membantu menyelesaikan konflik berdarah yang menimbulkan korban dari komunitas muslim sebenarnya bukan kali ini saja terjadi. Pada saat pembantaian umat muslim Bosnia pada tahun 1992 silam bisa dijadikan tolak ukur. Akibat lambannya penanganan PBB, ratusan ribu nyawa umat muslim Bosnia melayang. Belum lagi kalau melihat nasib kaum muslimin yang ada di Narathywat (Thailand Selatan) maupun umat muslim Mindanao, umat muslim Eighur (Cina), Umat Muslim di India, Sri Lanka dan masih banyak lagi. Berkali - kali mereka mendapat kekerasan fisik, diskriminasi ekonomi maupun sosial. Salah satu resep ampuh yang bisa membuat mereka tidak dibantai secara semenah - menah seperti yang dialami oleh umat muslim Rohingya adalah dengan membentuk kelompok perlawanan bersenjata atau Majelis Mujahidin (oleh negara kafir mereka sebut Teroris). Resep tersebut mampu membuat kaum Muslim Moro yang ada di Mindanao sampai sekarang masih bertahan. 
Berbagai deskpripsi yang saya tuliskan diatas, nampak jelas bahwa ternyata konsep HAM yang didengungkan oleh AS dan Sekutunya dibawah payung PBB tidak berlaku bagi umat islam. Hal ini nampak dari perlakuan PBB terhadap umat muslim. Ketika Saddam Husein menyerang Etnis Kurdi di Iraq, AS dan sekutunya langsung menyatakan bahwa tindakan tersebut adalah kejahatan kemanusiaan. Namun ketika Thaksin Shinawatra membantai umat muslim Narathywat, PBB seolah menutup mata. Tindakan yang dilakukan oleh Junta Militer Myanmar terhadap etnis muslim Rohingya itu jelas - jelas kejahatan kemanusiaan (Genosida). Hal ini nampak jelas dari adanya propaganda Myanmarisasi yang didengungkan oleh pihak junta militer Myanmar yang dikampanyekan secara massal oleh para Bhiksu (Botak Kafir) Rakhine. Coba kalau di Indonesia Umat Islam melakukan pembersihan terhadap etnis Budha, tentu hanya beberapa jam kecaman internasional akan membanjir. Ini memang tidak adil.., 
Untuk itu, umat Islam di seluruh dunia sudah saatnya untuk merenungkan hal ini. Organisasi pertahanan militer seperti yang dilakukan oleh AS dan Sekutunya yang tergabung dalam NATO (Organisasi Pertahanan Atlantik Utara) perlu dilbentuk. Bila perlu, Organisasi Konfrensi Islam (OKI) jangan hanya dijadikan sebagai forum komunikasi, tetapi juga digunakan untuk mengatur kebijakan penguatan ekonomi dan militer. Ini tentu bukan untuk mengintimidasi para negara non islam, minimal negara - negara kafir tidak memandang negara - negara Islam sebelah mata. Bila perlu untuk menguatkan ekonomi sesama negara Islam, dibuat satu mata uang untuk menyaingi Euro. Apalagi saat ini status negara kaya yang sebelumnya disandang oleh negara - negara barat termasuk AS telah berpindah ke Timur Tengah. Lihat saja apa yang dilakukan oleh beberapa petinggi Klub Sepakbola Eropa. Untuk menyelamatkan klub, mereka tidak malu - malu mengemis kepada para taipan minyak dari Timur Tengah. Ini tentu sederhana tapi jelas menggambarkan bahwa secara ekonomi, negara - negara islam khususnya di Timur Tengah sudah sangat kuat. Kalau memang Organisasi secara militer belum bisa dibentuk, maka bantuan terhadap kelompok - kelompok bersenjata yang oleh negara barat disebut teroris seperti yang dilakukan Iran dan Syiriah terhadap Hizbullah dan Brigade Al Qassam di Palestina penting dilakukan. Sekedar saran untuk saudara - saudaraku yang tergabung dalam Al Qaidah yang selama ini hanya hoby melakukan teror di Indonesia, sudah saatnya kalian terbang ke Myanmar. Pintu Jihad sangat terbuka disana, aroma surga dan bidadarinya tercium sampai disini.., Wassalam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar